Selasa, 05 Maret 2013

Bung Karno dan Marhaenisme



BUNG KARNO DAN MARHAENISME

Siapa tidak kenal dengan presiden pertama Republik Indonesia, sekaligus tokoh perjuangan dalam merebut kemerdekaan. Pasti semua mengenalnya, siapa lagi kalau bukan Ir. Soekarno. Soekarno dilahirkan pada tanggal 6 Juli 1901 di Surabaya. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosro-dihardjo. Melihat dari nama depan Ayahnya, Soekarno masih berdarah ningrat. Dari kecil Soekarno diasuh oleh kedua orang tuanya, selain itu ia juga diasuh oleh pembantunya yang bernama Sarinah. Soekarno mendapatkan banyak kenangan yang mendalam dari Sarinah. Sarinah mengajari anak asuhnya untuk mencintai rakyat jelata. Itu yang menyebabkan Soekarno sangat peduli sekali terhadap orang kecil atau dalam bahasa jawanya wong cilek. Selain itu Soekarno mewarisi citra rasa kesenian dari Ibunya yang berasal dari Bali. Sedangkan dari Ayahnya yang berasal dari Jawa Soekarno mendapatkan pengetahuan mistik Jawa.
Karena tinggal di Jawa Soekarno senang sekali dengan wayang. Tidak heran apabila Soekarno berpidato untuk menyampaikan pikirannya pada khalayak Jawa, Soekarno menggunakan media wayang. Namun ada unsur yang tidak di tangkap oleh Soekarno dalam pewayangan, yaitu citra santun dan halus. Melihat hal itu Soekarno dalam kehidupan menolak tradisi kehalusan dalam wayang dan menerjemahkan ke dalam citra energik, kasar dan duniawi. Namun pada dasarnya dalam masyarakat jawa sifat yang baik dan apa yang baik identik dengan yang halus.  
Saat Soekarno sekolah di Surabaya dan Bandung, dari siswa menjadi mahasiswa. Soekarno mengagumi tokoh Bima dalam pewayangan yang mempunyai sifat berani, jujur, serta kurang ramah. Selain itu ia galak, tak kenal kompromi, kasar, serta berani membatah terhadap orang yang diatasnya. Hal ini yang mendasari kepribadian diri Soekarno.
Sifat tidak mengenal kompromi ditunjukkan Soekarno dalam sikap anti kolonoalisme dan anti imperialism. Sedangkan sikap kompromi diperlihatkan Soekarno yang mau bekerja sama dengan orang yang sama-sama menentang penjajahan. Melalui caranya sendiri, Soekarno mengumpulkan ide-ide dan lairan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Lalu diolah menjadi satu ide baru yang diharapkan bisa diterima oleh masyarakat. Misalnya Nasionalisme, merupakan aliran politik yang tumbuh dalam masyarakat.
Lalu dari situ munculah ide-ide dan gagasan pemikiran Soekarno yang diberi nama Marhaen. Latar belakang nama Marhaen sendiri diambil Soekarno untuk memberi julukan bagi orang yang melarat di Indonesia. Kata Marhaen sendiri diambil Bung Karno saat menaiki sepedanya saat menuju Bandung selatan. Disitu Bung Karno melihat seorang petani dengan pakain yang lusuh yang sedang mengerjakan sawahnya. Lalau pakain yang lusuh diibaratkan Bung Karno sebagai kondisi masyarakat Indonesia. Petani itu mempunyai alat cangkul, sekop dan sawah yang sempit, saat ditanya Soekarno. Namun ironiya petani itu tetap miskin, hasil pertanian hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tanpa ada sisa yang bisa dijual. Hal ini akibata dari sistem feodal dan imperialisme. Lalu saat ditanya namanya petani itu menyebutkan dirinya bernama Marhaen. Disini awal munculnya kata Marhaen sebagai gambaran kondisi masyarakat Indonesia saat masa penjajahan.
Marhaen sendiri julukan bagi orang yang melarat. Sedangkan ajaran tentang Marhaen disebut Marhaenisme. Marhaenisme dipakai Bung Karno sebagai pemersatu bagi orang yang melarat. Lalu sebuah ajaran tentang Marhaenisme dijadikan ideologi oleh Bung Karno. Namun sebenarnya ideologi Marhaenisme melibatkan kepribadian dan emosi Bung Karno. Selain itu tidak terlepas dari obsesi Bung Karno sebagai ideologi pemersatu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dan gagasan tentang Marhanisme sebenarnya adalah Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi masyarkat Indonesia.
Pokok-pokok yang diletakkan bahwa Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia, antara lain:
1.      Seperti yang dicetusakan Bung Karno, Marhaenisme adalah praktek perjuangan masyarakat Indonesia terutama kaum Marhaen untuk melawan kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Dalam perjuangannya mempunyai landasan yang kukuh dengan menggalang semua kekuatan progresif revolusioner yang berporoskan NASAKOM.
2.      Marhaenisme adalah paham perjuangan didasarkan atas sifat revolusi Nasional Demokrasi dan Sosialisme Indonesia untuk mencapai tujuan masyarakat adil, makmur material dan spiritual.
3.      Dalam bidang ideologi, Marhaenisme adalah Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi Indonesia. Selain itu pemikiran dan ide perjuangan di ambil dari ajaran Karl Max.
4.      Mempelajari dan memahami sejarah perkembangan Indonesia, berarti memahami sebaik-baiknya masyarakat Indonesia untuk membebaskan dirinya dari penindasan kapitalisme, imperialisme dan feodalisme.
Karena pada saat itu juga terdapat tiga gerakan yang paling gigih dalam memperjunagkan kemerdekaan Indonesia yaitu gerkan Nasionalis, gerakan Islam dan gerakan Komunis. Disitu Bung Karno sebagai pemersatu dengan menggunakan ideologi Marhaenisme. Dalam upayanya mempersatukan tiga gerakan tersebut Bung Karno tidak pernah luntur dalam masa perjuangannya dan tetap mempertahankannya. Selain itu untuk mempertemukan kaum Islam dan kaum Marxis, Bung Karno menekankan bahwa gerakan Islam dan Marxis adalah gerakan Internasional yang menentang kolonialisme dan imperialisme. Bung Karno juga menakankan bahwa “Marhaenisme tidak selalu anti Tuhan”, dan lebih merupakan cara berfikir.
Pada saat itu juga Bung Karno membentuk sekaligus menjadi pemimpin PNI (Partai Nasional Indonesia) sejak tahun 1927. Bung Karno menempatkan PNI sebagai partai yang terbuka, menerima semua orang dari aliran manapun dan agama manapun. Ideologi Marhaenisme pun sebagai dasar perjuangan partai, kebulatan tekad dan pedoman bagi warga PNI.  Marhaenisme sendiri merupakan ideologi yang sangat lentur, yang bisa ditafsirkan sesuai kondisi dan situasi politik Indonesia.
Dimasa Demokrasi Terpimpin, Marhaenisme ditafsirkan sebagai “Marxisme yang diterapkan sesuai kondisi dan situasi Indonesia”. Tapi di era Orde Baru, penyebaran Marhaenisme dilarang sesuai dengan TAP MPR yang ada saat itu. Namun pada saat dirumuskannya Pancasila sebagai dasar negara, Bung Karno mentafsirkan Marhaenisme identik dengan Pancasila. Marhaenisme sendiri menjadi sosio-Nasionalisme dan sosio-Demokrasi. Kewajiban seorang sosio-Nasionalisme mengobarkan semangat perlawanan kaum buruh dan mengorganisasikannya di dalam badan-badan serikat kerja yang kuat. Sosio-Demokrasi sendiri merupakan realisasi dari sosio-Nasionalisme. Ciri khas dari Marhaenisme sendiri yang tidak pernah berubah adalah kepedulian terhadap wong cilik.
Akhirnya untuk melakukan persatuan dan kesatuan, Bung Karno membentuk NASAKOM (Nasonalis-Agama-Komunis). Dimana tujuannya untuk melakukan gerakan revolusioner progresiv, untuk memerangi kapitalisme dan sistem feodal. Konsep Nasakom dinilai lebih maju dari pada harus mempersatukan Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme pada tahun 1920-an. Pada konsepsi Nasakom Bung Karno, buka lagi menyebut aliran marxis, melainkan komunis. Karena PKI dalam gerakannya sangat revolusioner progresiv. Akhirnya Bung Karno lebih merapatkan dirinya ke PKI, karena sesuai dengan tujuan yang diinginkan Bung Karno. Hingga di era demokrasi terpimpin PKI mendapatkan kelonggaran dari Bung Karno.
Akibat dari itu semua, posisi Bung Karno mulai goyah karena dituduh terlibat dalam G30S.  Selaian itu adanya keterikatan PNI dalam kerja sama dengan PKI di tingkat nasional itu menyebabkan PNI tidak mempunyai sikap yang jelas menghadapi ”pemberontakan” G30S yang melibatkan PKI dan meletus beberapa saat kemudian. Posisi PNI pun sangat dilematis, karena apabila mau berlindung dibalik Soekarno juga sulit, karena posisi Soekarno sendiri kian hari kian terdesak karena keengganannya membubarkan PKI. Maka dengan mudah PNI ditundukkan oleh penguasa rezim Orde Baru dan menjadikan PNI secara ideology tidak ada artinya sama sekali.
Dari ulasan diatas kita dapat mengetahui bahwa Ideologi Marhaenisme adalah Marxisme.  yang diterapkan sesuai dengan kondisi dan situasi bangsa Indonesia. Marhaenisme sendiri adalah ideologi  yang sangat lentur dan fleksibel. Selain itu Marhaenisme sebagai alat pemersatu kaum Marhaen dalam memerangi kapitalisme, imperialisme dan feodalisme yang mengakibatkan adanya penindasan dan kemiskinan.



Bibliography

Saksono, I. G. (2008). Marhaenisme Bung Karno. Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar